Sabtu, 02 Mei 2009

Kita Semua GILA

Saat pertama saya memilih menjadi seorang psikolog klinis, jujur saya hanya butuh title PSIKOLOG di belakang nama saya. Tau kan….biar sah menandatangani laporan, biar dapat ijin buka praktek pribadi dan juga biar tak terlihat terlalu menganggur selagi karir saya sebagai seorang aktris sedang jalan di tempat! Blak-blakan aja…karir seorang psikolog klinis di Indonesia tak terlalu menjanjikan: hanya ada sekitar 0,1-@% dari populasi yang berada di wilayah abnormal, tambahan lagi calon-calon klien digentarkan oleh stigma:”ke psikolog?emang gue gila?” Apalagi saya masih harus bersaing dengan para mbah dukun, paranormal, ustadz, kyai, pendeta dll…jadi, apa iyah saya perlu punya spesialisasi bidang klinis?

TAPI, saya baru sadar saya tidak teliti mempelajari angka dan statistic abnormalitas. Menurut DSM_IV (buku manual penyakit gila bagi para ilmuwan!), persentase dari penyakit skizofrenia berjumlah 0.5-1,5% dari populasi, gangguan depresi sekitar 5-10%, gangguan panic sekitar 3,5%, PTSD (PostTraumatic Stress Disorder) sekitar 8%, gangguan kecemasan sekitar 3%, gangguan kepribadian sekitar 1-3%, gangguan Obsessive-Compulsive sekitar 2,5%, Somatisasi sekitar 2%...daftarnya terus berlanjut….belum lagi gangguan-gangguan yang biasanya didiagnosa pada masa perkembangan, gangguan berkaitan dengan penyalahgunaan zat, gangguan tidur, penyimpangan seksual, gangguan penyesuaian diri dan gangguan seks dan identitas gender!

Haaahhh….agak terengah-engah rasanya menyebutkannya, itu belum semua loh! Saya tak pandai berhitung, tapi kalau Anda mau menjumlahkan persentasenya...statistik menunjukkan bahwa KITA SEMUA GILA!

Lantas mengapa kita begitu alergi membicarakan kegilaan, penyakit jiwa, kemiringan atau kesedhengan kita? Apa yang membuat Anda dan saya tak bisa bebas membicarakan topik ini dalam pembicaraan sehari-hari kita di warung kopi, saat menjemput anak atau reunian? Ketika seorang tetangga bertanya:”Hai, gimana kabarnya?”, dapatkah kita menjawab dengan ringan bahwa kita baru saja mengalami episode depresi seperti mengatakan bahwa kita baru saja migren?

Mengapa media begitu gencar mencecar Mariah Carey atau Britney Spears yang mengalami mental breakdown (penurunan fungsi mental), menempatkan berita ini sebagai tajuk utama dan membicarakannya dengan “bitchy mode”? Sementara itu Kyle Minoque yang menderita kanker justru memperoleh simpati besar, ketika ia pulih, kita bilang ia seorang survivor dan mengagumi keberaniannya berjuang melawan penyakitnya. Tapi ketika Mariah kembali membangun karir setelah mental breakdown, kita justru memandangnya sebagai mantan orgil yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bukankah keduanya sama-sama menderita penyakit…mengapa kita begitu memandang beda penderita penyakit fisik dengan penyakit jiwa?

Setelah bertemu dengan kasus-kasus patologis alias abnormal, ternyata saya cukup paham perasaan dan pikiran mereka, mereka tak datang dari dunia atau planet yang berbeda. Mereka sama seperti kita hanya saja dengan kadar yang berbeda…Lagipula siapa dari kita yang tak pernah merasa depresi (kehilangan minat mengerjakan apapun) ketika menghadapi tantangan hidup yang tak pernah surut? Siapa yang tak pernah merasakan episode mania (terlalu bersemangat sampai tak bisa tidur) selagi kita menunggu hari bahagia atau momen menentukan lainnya? Siapa dari kita yang tak pernah memiliki delusi bahwa semua orang memandang dan membicarakan diri kita ketika ada jerawat merah merona dan matang di ujung hidung kita? Siapa yang tak pernah punya obsesi terhadap mantan pacar yang sekarang bertunangan dengan supermodel? Mungkin kita tak se “sehat mental” seperti yang kita kira. Jadi mari bicarakan dengan terbuka: penyimpangan Anda, ketidakwarasan saya, abnormalitas Anda, gangguan saya, neurosis Anda, psikosis saya…penyakit gila kita!

1 komentar:

  1. hahaha..
    di DSM-IV kayaknya ga lbh dr 10%
    kmrn kt nyebutnya 20%, malah ada yg 40%..
    wakakakkakk..
    melebihi DSM-IV hihihi..
    dan bener, kita semua gila..
    hidup gila!!
    hahahahaahaa..

    BalasHapus