Sabtu, 02 Mei 2009

Menikahi Seorang Psycho!

Saya merasa ditusuk dari belakang oleh istri saya sendiri…istri yang selama ini saya lindungi dan tutupi aibnya!” kata seorang suami kepadaku dengan mata berkaca-kaca dan suara yang tersendat. Setelah 3,5 tahun berada dalam pernikahan yang melelahkan dan membuat frustasi, ia merasa tak tahan lagi. Makian dan pukulan dapat dipikulnya, rasa malu dan cemas dapat ditoleransinya TAPI hati dan harapannya hancur saat sang istri melaporkannya ke polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan. “Waktu itu saya hanya ingin menenangkannya dan menahan pukulannya! Saya sama sekali tidak bermaksud memukulnya, Mbak tau kan berapa kuatnya dia kalau sedang tak sadar!” Sebagai seorang pria sejati , ia tak bisa mundur dari sumpah yang diambilnya ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang tak ia kenal sebelumnya. Hanya oleh rujukan keluarga dan iman pada keyakinan agamanya, ia melangkah pada sebuah kisah horror berjudul:”Menikahi Seorang Psycho!”

Mata berkaca yang sama kulihat pada Alicia Nash yang dimainkan begitu indah oleh Jennifer Connely dalam film The Beautyful Mind. Istri dari seorang ahli matematika jenius yang menderita skizofrenia dan hampir membunuh anak mereka. Hati Alicia hancur saat ia tahu bahwa suami tersayangnya nampak tak bisa menemukan jalannya kembali ke dunia nyata. Tersesat dalam delusi dan halusinasinya, John Nash yakin bahwa ia memiliki seorang sahabat yang tak pernah ada dan sebuah kehidupan rahasia yang tak pernah nyata.
Alicia tak hanya harus berhadapan dengan dengan menurun bahkan hilangnya fungsi sosial sang suami: tak dapat mempertahankan pekerjaan ataupun relasi sosial yang bermakna, berhadapan dengan stress sehari-hari dari perilaku-perilaku aneh bahkan terkadang membahayakan dari sang suami dan yang paling menyakitkan, berhadapan dengan semua stigma dan rasa malu menikahi seorang sakit jiwa dan yang paling menyakitkan adalah berhadapan dengan harapan yang semakin menipis bahwa hidup akan kembali normal.

Entah mengapa, kekurangan atau penyimpangan psikologis dapat jauh lebih membebani bagi pasangan daripada sakit fisik. Pernahkah Anda menyadari bahwa ketika Anda mengikat janji dihadapan Tuhan dan berkata:”Saya akan menemanimu dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…” maka kata SAKIT tersebut meliputi sakit fisik dan juga SAKIT JIWA???

Kembali pada kisah pertama perihal klien saya…tak lama, sang istri mulai mengeluh dan neracau bahwa suaminya mau kawin lagi. Tentu saja hal ini membuat simptom penyakitnya makin kambuh. Ketika saya mengkonfrontasi sang suami, ia tak menyangkal. Ia berkata dengan putus asa:” Saya gak tau lagi mesti gimana mbak…sehari-hari saya harus pergi kerja untuk cari biaya pengobatan dan perawatan istri, lalu siapa yang akan menjaga dia saat kita pulang dari rumah sakit nanti? Saya butuh orang yang setia dan cukup paham, pembantu atau suster tak mungkin tahan merawatnya, dari situ saya punya ide untuk mengambil istri kedua!"

Saat itu saya tak bisa berkata apa-apa…itu pertama kalinya dalam hidup saya, saya hampir setuju pada ide poligami!

Normal VS Abnormal

“Jujur yah Rin….gue gila yah?”, tanyanya mengakhiri cerita panjang lebar yang tak dapat diungkap melalui telepon. Rupanya aku sengaja diajak bertemu minum kopi untuk dimintai opini professional: menilai kadar kewarasan! Kusadari sejak memilih jurusan psikologi, pertanyaan seperti ini bakal banyak menghampiriku. Banyak orang tak yakin bahwa dirinya “normal” dan ini bisa sangat meresahkan! Di dunia normatif ini, orang berebut tempat di kolom wajar alias ‘seperti kebanyakan’. Tak banyak yang mau mentolerir hal-hal yang melenceng dari normalitas, padahal abnormal tak selalu salah dan tak selalu jelek. Normal pun tak selalu benar dan baik, ia hanya… lebih mudah diterima!

Tak mudah memang menarik garis tegas antara perilaku normal dan abnormal. Sederhana saja mungkin kalau kita hanya menilai dari penyebaran dan distribusi di kurve normal, kalau anda termasuk kolom tengah alias rata-rata maka anda tergolong normal, kalau anda berada di pinggir kurve, maka Anda tergolong abnormal. Di jaman modern dan digital ini, sepertinya hampir semua orang punya HP, lebih dari satu bahkan! Jadi kalau hare gene Anda gak punya HP…(silakan simpulkan sendiri!). Kalau hanya kuantitas yang dijadikan patokan, maka para atlet dengan kemampuan super seperti Michael Phelp termasuk makhluk abnormal.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah perilaku tersebut melanggar norma budaya setempat atau tidak. Mengayau alias menebas kepala, dianggap lazim dan justru memperoleh respek di Suku Dayak, tapi jangan coba-coba membawa kebiasaan tersebut ke Jakarta atau Anda akan berakhir satu sel dengan Ryan sang penjagal dari Jombang!

Menariknya, norma juga sangat mungkin mengalami pergeseran! Dulu sebelum flower generation, rata-rata orang yang belum menikah masih perawan, sekarang, paling tidak di Amerika remaja perawan sudah jadi spesies langka. Begitu pula dengan homoseksualitas yang tak lagi masuk dalam daftar perilaku menyimpang. Di Negara kita tercinta, perilaku nrimo adalah perilaku yang normal: wajar orang nrimo suap, nrimo komisi dibawah tangan atau nrimo jabatan karena uang! People change, society change, abnormality change!
Dengan semua hal ini, rasanya kita perlu satu kriteria lagi untuk yakin mengetok palu apakah sebuah perilaku normal atau abnormal. Para ahli sepakat bilang bahwa kriteria terakhir adalah apakah perilaku mengganggu individu dan lingkungannya. Kalau Anda takut berlebihan (phobia) sama karet gelang atau balon…mungkin hal itu termasuk abnormal karena tak rata-rata orang gak takut sama karet/balon. Tetapi selama hal tersebut tak mengganggu aktivitas, pergaulan dan pekerjaan Anda sehari-hari dan tak mengganggu lingkungan sekitar Anda, maka ketakutan Anda mungkin bukan sesuatu yang terlampau abnormal!

Sebaliknya perilaku yang “tampak” normal seperti:”senang main facebook (FB)” bisa jadi perilaku abnormal. Di pagi hari begitu bangun tidur, Anda langsung menghampiri PC yang dibiarkan menyala semalaman, update status, cek message, ikut kuiz dan gosok gigi. Di perjalanan ke kantor, di setiap persimpangan lampu merah atau ketika kendaraan Anda tersendat, Anda langsung meraih BB dan cek halaman FB, dalam hati Anda beralasan:”Kalau gak gitu jadi ngantuk sih!” Sampai di kantor anda menyapa teman-teman kantor Anda,…lewat FB! Sembari mengerjakan proposal, Anda meladeni berbagai message dan undangan YM. Di ruang rapat, karena ada Bos Anda jadi sungkan cek-cek FB lewat BB, tapi di sela-sela pembicaraan orang, pikiran Anda melayang memikirkan: “wah di FB statusnya Fanny berubah dari in relationship jadi single…apa dia putus yah?” waktu berlalu dan FB setia menemani Anda, saat kerja, saat rileks, saat bersama pacar, saat kongkow dengan teman…tanpanya Anda resah dan jadi gelisah…well, welcome to the club!!

Kita Semua GILA

Saat pertama saya memilih menjadi seorang psikolog klinis, jujur saya hanya butuh title PSIKOLOG di belakang nama saya. Tau kan….biar sah menandatangani laporan, biar dapat ijin buka praktek pribadi dan juga biar tak terlihat terlalu menganggur selagi karir saya sebagai seorang aktris sedang jalan di tempat! Blak-blakan aja…karir seorang psikolog klinis di Indonesia tak terlalu menjanjikan: hanya ada sekitar 0,1-@% dari populasi yang berada di wilayah abnormal, tambahan lagi calon-calon klien digentarkan oleh stigma:”ke psikolog?emang gue gila?” Apalagi saya masih harus bersaing dengan para mbah dukun, paranormal, ustadz, kyai, pendeta dll…jadi, apa iyah saya perlu punya spesialisasi bidang klinis?

TAPI, saya baru sadar saya tidak teliti mempelajari angka dan statistic abnormalitas. Menurut DSM_IV (buku manual penyakit gila bagi para ilmuwan!), persentase dari penyakit skizofrenia berjumlah 0.5-1,5% dari populasi, gangguan depresi sekitar 5-10%, gangguan panic sekitar 3,5%, PTSD (PostTraumatic Stress Disorder) sekitar 8%, gangguan kecemasan sekitar 3%, gangguan kepribadian sekitar 1-3%, gangguan Obsessive-Compulsive sekitar 2,5%, Somatisasi sekitar 2%...daftarnya terus berlanjut….belum lagi gangguan-gangguan yang biasanya didiagnosa pada masa perkembangan, gangguan berkaitan dengan penyalahgunaan zat, gangguan tidur, penyimpangan seksual, gangguan penyesuaian diri dan gangguan seks dan identitas gender!

Haaahhh….agak terengah-engah rasanya menyebutkannya, itu belum semua loh! Saya tak pandai berhitung, tapi kalau Anda mau menjumlahkan persentasenya...statistik menunjukkan bahwa KITA SEMUA GILA!

Lantas mengapa kita begitu alergi membicarakan kegilaan, penyakit jiwa, kemiringan atau kesedhengan kita? Apa yang membuat Anda dan saya tak bisa bebas membicarakan topik ini dalam pembicaraan sehari-hari kita di warung kopi, saat menjemput anak atau reunian? Ketika seorang tetangga bertanya:”Hai, gimana kabarnya?”, dapatkah kita menjawab dengan ringan bahwa kita baru saja mengalami episode depresi seperti mengatakan bahwa kita baru saja migren?

Mengapa media begitu gencar mencecar Mariah Carey atau Britney Spears yang mengalami mental breakdown (penurunan fungsi mental), menempatkan berita ini sebagai tajuk utama dan membicarakannya dengan “bitchy mode”? Sementara itu Kyle Minoque yang menderita kanker justru memperoleh simpati besar, ketika ia pulih, kita bilang ia seorang survivor dan mengagumi keberaniannya berjuang melawan penyakitnya. Tapi ketika Mariah kembali membangun karir setelah mental breakdown, kita justru memandangnya sebagai mantan orgil yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bukankah keduanya sama-sama menderita penyakit…mengapa kita begitu memandang beda penderita penyakit fisik dengan penyakit jiwa?

Setelah bertemu dengan kasus-kasus patologis alias abnormal, ternyata saya cukup paham perasaan dan pikiran mereka, mereka tak datang dari dunia atau planet yang berbeda. Mereka sama seperti kita hanya saja dengan kadar yang berbeda…Lagipula siapa dari kita yang tak pernah merasa depresi (kehilangan minat mengerjakan apapun) ketika menghadapi tantangan hidup yang tak pernah surut? Siapa yang tak pernah merasakan episode mania (terlalu bersemangat sampai tak bisa tidur) selagi kita menunggu hari bahagia atau momen menentukan lainnya? Siapa dari kita yang tak pernah memiliki delusi bahwa semua orang memandang dan membicarakan diri kita ketika ada jerawat merah merona dan matang di ujung hidung kita? Siapa yang tak pernah punya obsesi terhadap mantan pacar yang sekarang bertunangan dengan supermodel? Mungkin kita tak se “sehat mental” seperti yang kita kira. Jadi mari bicarakan dengan terbuka: penyimpangan Anda, ketidakwarasan saya, abnormalitas Anda, gangguan saya, neurosis Anda, psikosis saya…penyakit gila kita!