Sabtu, 07 November 2009

THIS CRAZY THING CALLED: FAITH

As a residual control freak, I find it not easy being pregnant….first when I knew I’m having a baby I kinda wish I could repeat the process (of making a baby) all over again and make sure that everything went perfectly: me and hubby in good health, not eating any MSG stuff or coffee and doing it in sterile environment!

But there’s nothing I can do to undo what has happened right…so I just wish and pray that this baby turn well eventually. This is one of the downside of learning psychology especially clinical psychology….you get exposed by all kinds of pathologies! What if my baby developing any kind of deviance or abnormalities like autism or down syndrome?!?! Oh no….please God no…the more I try not to think about it the more I think about it!!!

My madness didn’t stop there….the first 3 months a mother barely can see or feel the baby inside her womb…is she really there? Sometimes even a modern USG check up can’t detect the baby during the first 2 months. I got all the nauseas and the fatigues but still doubt whether I was really carrying a baby or not…you know: seeing is believing right!!!

After the doctor and USG confirmed my pregnancy, a new anxiety starts: how do I know if the baby is alright and growing well? I don’t know whether my hormone changes coz a temporary madness (or dullness) in me but I even thought:”What if I accidentally “push” the baby out while I do my regular pup?” Wow my master degree seemed to be a joke at that time!

My concern and anxieties slowly disappeared when the my tummy grow larger and larger….and then the miracle happened for the first time: I felt the baby moving and kicking inside of me! Wow what an amazing feeling….there’s a new person, a full human being growing inside me! This little person can even interact with me and hubby, she responds when we sing a tune, pray, talk or “kick” her back!

It’s only around 6 months I get to be a mother but I realized that having a child in a world like this really takes this crazy thing called FAITH. You desperately need faith to go through pregnancy….yet alone to raise a child! I still worry day to day if the baby’s healthy and well and I don’t know for sure what she’ll turned out to be but I learn from this great journey that there’s nothing I can do about it except pray and surrender the rest. I still learn to let go my control and anxieties since it does nothing but takes my joy away….I wish that someday I have enough faith to believe that in all things God works for the good of those who love Him!

Senin, 24 Agustus 2009

Desire: Wanting what you can’t have!

Baru 5 hari berlalu aku berkeluh kesah pada suamiku, perut kembung, muka jerawatan, pencernaan terganggu, aku positif lagi PMS (pre-menstrual syndrome). PMS-nya sih biasa, tapi yang membuatku mengeluh adalah karena ekspektasiku untuk gak mengalaminya kembali. Dengan pencanangan Program bikin anak sejak 3 bulan lalu, harapanku untuk “ positif” selalu kandas setiap kali aku masih kedatangan tamu bulanan.
Lima hari berlalu dan semua tanda PMS tak kunjung reda, aku dibingungkan karena sang tamu tak kunjung datang…keinginan untuk tes kutunda karena takut kecewa…kecewa kalo baru dites eh taunya besok baru datang! Tujuh hari berlalu, kuberanikan diri untuk tes, sekaligus siap2 kecewa kalau hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Sambil sikat gigi kucoba bersikap se-kasual mungkin..tak sampai 5 detik hasil tes bilang aku POSITIF. Kupikir aku akan meloncat bahagia, berlari menghampiri suamiku dan kami berpelukan sambil muter-muter seperti yang sering kulihat di film-film. ..Ternyata aku tak berkutik dihadapan stick kecil tersebut. “Nah lo loh….positif yah? Gimana donk?” tanyaku bloon pada suamiku, bolak balik kami membaca kartu petunjuk pemakaian dan mengamati test pec seraya tak percaya!

Setelah setengah jam nyengar-nyengir bodoh diiringi tawa gugup, aku mulai membayangkan segala hal yang akan berubah dan mungkin tak akan pernah sama lagi. Badanku pasti membengkak dan mungkin tak pernah lagi kembali ke angka yang sama seperti saat ini. Pekerjaan yang telah memberiku rasa mandiri mungkin tak lama lagi bisa kujalani, sampai kapan aku bisa menyupir Jakarta-Tangerang dengan perut yang semakin membuncit? Kopi dan sushi yang kugemari sekarang jadi off limit bagiku. Itu baru selama proses kehamilan….apalagi nanti kalau sikecil sudah hadir dalam keluarga kami, pasti lebih banyak perubahan yang dibawanya: tidur nyenyak dan leyeh-leyeh di akhir pekan mungkin tak akan lagi bisa kami nikmati….wuuaahhh…aku menarik nafas panjang, dadaku terasa sesak penuh ketakutan!

Apa yang tadinya sangat kudamba, kini membuatku takut setengah mati. Sungguh lucu, betapa kita, maksudnya anda dan saya yang mengaku manusia, kita cenderung menginginkan hal-hal yang tidak kita miliki TAPI begitu kita mendapatkannya, kita sekejab jadi ragu apa betul kita mengingininya! Kata orang cinta paling romantic adalah cinta tak kesampaian atau cinta terlarang. Tak dapat bersatu dengan orang yang kita cintai macam cinta Romeo & Juliet rasanya lebih dramatis dan romantis daripada cinta sepasang suami istri yang saling memiliki sepanjang usia.

Pernah kubaca dalam sebuah artikel di O Magazine, seorang professor menyuruh mahasiswanya meneliti dan mengkaji desire secara ilmiah. Ternyata pengalaman dan studi menunjukkan bahwa sifat desire adalah menginginan apa yang tidak kita miliki. Desire cenderung menurun atau menghilang ketika kita telah berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan tersebut. Anda pun pasti pernah mengalaminya, waktu kecil aku iri setengah mati pada sepeda roda 4 milik tetanggaku, warna bannya merah muda khas anak perempuan dengan bel yang berbunyi nyaring. Papa Mama ku saat itu menjanjikannya sebagai hadiah apabila aku naik kelas dengan nilai memuaskan. Aku berusaha setengah mati belajar biar dapat nilai bagus dengan iming-iming sepeda merah muda di benakku. Ketika akhirnya aku mendapatkan sepeda tersebut, hanya 3 minggu aku tenggelam dalam euphoria dan memainkannya dengan sukacita. Tak sampai habis liburan tahun ajaran, sepeda itu sudah mulai sering menganggur dan teronggok saja di pojok garasi. Aku sendiri mulai beralih ingin buku stiker seperti milik seorang teman jemputan.

Gila memang, kalau secara ilmiah saja sifat manusia memang sudah begitu, apa bisa kita salahkan orang yang ingin beristri 2 atau 3? Lah wong manusia tak ada puasnya…mungkin jawabannya bukan pada memiliki apa yang kita inginkan tetapi menginginkan apa yang kita miliki. Jadi kini aku bersyukur dan menikmati saja kehamilanku, kegugupanku, ketakutanku, ketergantunganku pada suami yang makin meningkat dan semuanya….lagipula kalau dipikir-pikir kapan lagi aku bisa leluasa minta dimanja dan dilayani :>

Senin, 15 Juni 2009

Penyakit Gila Karena Cinta

Pernahkah Anda mencintai seseorang sampai mau mati rasanya?Dada berdebar-debar tak terkendali. kalau sudah tidur susah bangun, kalau sudah bangun susah tidur, mau apa-apa rasanya tak bergairah?
Cinta memang sering bikin orang mabuk kepayang bahkan menggila…sering kudengar cerita cinta yang bikin orang hilang akal: menempuh perjalanan bolak-balik Jakarta-Bandung hanya untuk bilang "aku kangen kamu!", 103 sms dan 4,5 jam percakapan dengan inti yang sama:"aku kangen kamu!" tak mengurangi rindu sedikit juga! Aku hanya bisa berkomentar sambil geleng-geleng kepala:"Gila loe!" Seorang teman lain bercerita dengan bangga bahwa ia rela berlatih gitar dari nol sampai jari-jarinya melepuh demi gape membawakan lagu "Sempurna" hanya dalam waktu 1 minggu. Demi apa?hanya demi mengesankan seorang gadis di acara pensi sekolah! Sekali lagi aku hanya bisa berkomentar sambil geleng-geleng:"benar-benar sinting loe!"

Namun reaksi dan komentarku sungguh berbeda ketika mendengar cerita cinta klienku, sebut saja namanya Roy! Cinta benar-benar membuatnya gila! Ria, pacar pertama Roy diusianya yang ke 26 membuatnya tak menentu, gelisah, tak bisa tidur, tak bergairah beraktivitas bahkan hanya untuk bangun dari ranjang dan mandi. Kegilaan yang wajar apabila hanya sampai disitu, yang bikin miris Roy merasa tertekan dan depresi setiap berpacaran dengan Ria, berat badannya menurun, sering ia merasa begitu gelisah dan tidak bisa duduk diam, ia hanya berjalan mondar-mandir tak bertujuan dan ia terus merasa dorongan untuk memutuskan hubungan. Seringkali ia tidak dapat menahan dorongan ini dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Ria. Setelah kata putus terucap, ketegangannya merada, ia bisa beraktivitas dengan normal, perasaannya tenang dan lega. Namun tak sampai seminggu, kerinduan timbul di hati Roy, akunya ia sangat menyayangi Ria, ia tak tahan membayangkan Ria berpacaran bahkan menikah dengan pria lain. Akhirnya Roy menghubungi Ria dan mengajaknya kembali berhubungan dan ia pun kembali menderita depresi. Aneh…kalau sepasang kekasih biasanya merana karena cintanya tak dapat restu dari orangtua, Roy merana karena cintanya pada Ria seakan ditentang oleh sebagian dari diri Roy. Benci tapi rindu, sayang tapi tertekan! Akibatnya hubungan mereka tak jauh-jauh dari lagu BBB: "putus-sambung….putus-sambung….putus-sambung!"


Konsultasi dengan psikiater dan 2 orang psikolog Roy lakukan, terapi obat, psikoterapi sampai shock therapy (ECT) ia jalani ... Namun semua tetap tak banyak membantu, kelegaan penuh baru diperolehnya ketika ia tak lagi berstatus "pacar". Berada pada status "single" pun tak membuat Roy sepenuhnya tenang, ia tak habis mengutuki diri mengapa senantisasa diserang depresi ketika berpacaran, air matanya meleleh ketika diminta merelakan Ria. Statusnya benar-benar "it's complicated!"…rumit, serba salah, kompleks dan tak mudah diurai.

Selidik punya selidik gangguan Roy yang kompleks tak hanya didasari oleh rasa cintanya pada Ria. Sebelum bertemu Ria, Roy sudah punya masalah depresi ringan. Roy dibesarkan dengan pola asuh yang ambivalen dan conflicting, di satu sisi ia sangat dimanja, dilayani dan dipenuhi kebutuhan materialnya, namun di sisi lain, orangtuanya mengekang dan membatasi “ruang geraknya” dalam mengambil keputusan dan mandiri. Hal ini membuat Roy tumbuh dengan motif-motif yang berkonflik satu sama lain. Di satu sisi ia memiliki kebutuhan untuk bergantung namun juga keinginan utuk mandiri dan menentukan langkah sendiri. Kebergantungan yang disertai dengan keterkekangan kemudian menimbulkan kemarahan dan kebencian yang harus direpresi agar ia dapat bertahan hidup dan sehingga ia tampil sebagai anak yang penurut dan “tidak neko-neko”.

Pola ini berlanjut sampai Roy dewasa, karena orangtuanya senantiasa mengarahkan namun tidak pernah memberikan tanggung jawab yang jelas. Ia tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki keinginan sendiri, bergantung pada orangtua dan tidak dewasa dalam mengolah impuls-impulsnya. Ketika Mama Roy terkena depresi, ia kehilangan sosok yang memberikan struktur baginya, yang biasanya menentukan arahnya. Papa Roy yang mulai menuntutnya untuk berperan sebagai orang dewasa menimbulkan frustasi bagi Roy. Usahanya untuk menghibur Mama tidak berhasil, begitu pula usahanya untuk bertanggung jawab terhadap toko yang telah diserahkan padanya. Hal ini membuatnya terbeban dan tidak berguna. Hal ini menimbulkan kecemasan di dalam diri Roy dan menjadi awal perkembangan gangguan. Sedikit saja, ia terbeban oleh tanggung jawab atau tuntutan sosial, gejala depresi ringannya kambuh.

Hubungan dengan Ria menjadi pemicu timbulnya depresi berat yang dialaminya kini. Tuntutan ego untuk memenuhi peran sebagai pria dewasa yang berinisiatif, bertanggung jawab dan nurturing tidak dapat dipenuhi karena pada dasarnya ia adalah pribadi yang dependen dan tidak dewasa. Menurut teori psikoanalisa, depresi timbul karena adanya kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri (anger-in). Demikian pula dengan Roy, kemarahannya pada diri sendiri karna tak mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri akhirnya menimbulkan gangguan depresi.

Banyak faktor yang dapat berkontribusi menimbulkan depresi. Depresi sesungguhnya merupakan salah satu penyakit gila dengan prevalensi paling tinggi, sekitar 10-25% dari seluruh populasi dan dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Bahkan bintang terkenal seperti Kirsten Dunst pun pernah menderita depresi! Apabila Anda merasakan simptom-simptom ini: sering gelisah tak menentu, kehilangan gairah melakukan kegiatan/hobi yang disenangi, makan/tidur terganggu…segeralah berkonsultasi pada psikolog atau psikiater Anda!

Sabtu, 02 Mei 2009

Menikahi Seorang Psycho!

Saya merasa ditusuk dari belakang oleh istri saya sendiri…istri yang selama ini saya lindungi dan tutupi aibnya!” kata seorang suami kepadaku dengan mata berkaca-kaca dan suara yang tersendat. Setelah 3,5 tahun berada dalam pernikahan yang melelahkan dan membuat frustasi, ia merasa tak tahan lagi. Makian dan pukulan dapat dipikulnya, rasa malu dan cemas dapat ditoleransinya TAPI hati dan harapannya hancur saat sang istri melaporkannya ke polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan. “Waktu itu saya hanya ingin menenangkannya dan menahan pukulannya! Saya sama sekali tidak bermaksud memukulnya, Mbak tau kan berapa kuatnya dia kalau sedang tak sadar!” Sebagai seorang pria sejati , ia tak bisa mundur dari sumpah yang diambilnya ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang tak ia kenal sebelumnya. Hanya oleh rujukan keluarga dan iman pada keyakinan agamanya, ia melangkah pada sebuah kisah horror berjudul:”Menikahi Seorang Psycho!”

Mata berkaca yang sama kulihat pada Alicia Nash yang dimainkan begitu indah oleh Jennifer Connely dalam film The Beautyful Mind. Istri dari seorang ahli matematika jenius yang menderita skizofrenia dan hampir membunuh anak mereka. Hati Alicia hancur saat ia tahu bahwa suami tersayangnya nampak tak bisa menemukan jalannya kembali ke dunia nyata. Tersesat dalam delusi dan halusinasinya, John Nash yakin bahwa ia memiliki seorang sahabat yang tak pernah ada dan sebuah kehidupan rahasia yang tak pernah nyata.
Alicia tak hanya harus berhadapan dengan dengan menurun bahkan hilangnya fungsi sosial sang suami: tak dapat mempertahankan pekerjaan ataupun relasi sosial yang bermakna, berhadapan dengan stress sehari-hari dari perilaku-perilaku aneh bahkan terkadang membahayakan dari sang suami dan yang paling menyakitkan, berhadapan dengan semua stigma dan rasa malu menikahi seorang sakit jiwa dan yang paling menyakitkan adalah berhadapan dengan harapan yang semakin menipis bahwa hidup akan kembali normal.

Entah mengapa, kekurangan atau penyimpangan psikologis dapat jauh lebih membebani bagi pasangan daripada sakit fisik. Pernahkah Anda menyadari bahwa ketika Anda mengikat janji dihadapan Tuhan dan berkata:”Saya akan menemanimu dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…” maka kata SAKIT tersebut meliputi sakit fisik dan juga SAKIT JIWA???

Kembali pada kisah pertama perihal klien saya…tak lama, sang istri mulai mengeluh dan neracau bahwa suaminya mau kawin lagi. Tentu saja hal ini membuat simptom penyakitnya makin kambuh. Ketika saya mengkonfrontasi sang suami, ia tak menyangkal. Ia berkata dengan putus asa:” Saya gak tau lagi mesti gimana mbak…sehari-hari saya harus pergi kerja untuk cari biaya pengobatan dan perawatan istri, lalu siapa yang akan menjaga dia saat kita pulang dari rumah sakit nanti? Saya butuh orang yang setia dan cukup paham, pembantu atau suster tak mungkin tahan merawatnya, dari situ saya punya ide untuk mengambil istri kedua!"

Saat itu saya tak bisa berkata apa-apa…itu pertama kalinya dalam hidup saya, saya hampir setuju pada ide poligami!

Normal VS Abnormal

“Jujur yah Rin….gue gila yah?”, tanyanya mengakhiri cerita panjang lebar yang tak dapat diungkap melalui telepon. Rupanya aku sengaja diajak bertemu minum kopi untuk dimintai opini professional: menilai kadar kewarasan! Kusadari sejak memilih jurusan psikologi, pertanyaan seperti ini bakal banyak menghampiriku. Banyak orang tak yakin bahwa dirinya “normal” dan ini bisa sangat meresahkan! Di dunia normatif ini, orang berebut tempat di kolom wajar alias ‘seperti kebanyakan’. Tak banyak yang mau mentolerir hal-hal yang melenceng dari normalitas, padahal abnormal tak selalu salah dan tak selalu jelek. Normal pun tak selalu benar dan baik, ia hanya… lebih mudah diterima!

Tak mudah memang menarik garis tegas antara perilaku normal dan abnormal. Sederhana saja mungkin kalau kita hanya menilai dari penyebaran dan distribusi di kurve normal, kalau anda termasuk kolom tengah alias rata-rata maka anda tergolong normal, kalau anda berada di pinggir kurve, maka Anda tergolong abnormal. Di jaman modern dan digital ini, sepertinya hampir semua orang punya HP, lebih dari satu bahkan! Jadi kalau hare gene Anda gak punya HP…(silakan simpulkan sendiri!). Kalau hanya kuantitas yang dijadikan patokan, maka para atlet dengan kemampuan super seperti Michael Phelp termasuk makhluk abnormal.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah perilaku tersebut melanggar norma budaya setempat atau tidak. Mengayau alias menebas kepala, dianggap lazim dan justru memperoleh respek di Suku Dayak, tapi jangan coba-coba membawa kebiasaan tersebut ke Jakarta atau Anda akan berakhir satu sel dengan Ryan sang penjagal dari Jombang!

Menariknya, norma juga sangat mungkin mengalami pergeseran! Dulu sebelum flower generation, rata-rata orang yang belum menikah masih perawan, sekarang, paling tidak di Amerika remaja perawan sudah jadi spesies langka. Begitu pula dengan homoseksualitas yang tak lagi masuk dalam daftar perilaku menyimpang. Di Negara kita tercinta, perilaku nrimo adalah perilaku yang normal: wajar orang nrimo suap, nrimo komisi dibawah tangan atau nrimo jabatan karena uang! People change, society change, abnormality change!
Dengan semua hal ini, rasanya kita perlu satu kriteria lagi untuk yakin mengetok palu apakah sebuah perilaku normal atau abnormal. Para ahli sepakat bilang bahwa kriteria terakhir adalah apakah perilaku mengganggu individu dan lingkungannya. Kalau Anda takut berlebihan (phobia) sama karet gelang atau balon…mungkin hal itu termasuk abnormal karena tak rata-rata orang gak takut sama karet/balon. Tetapi selama hal tersebut tak mengganggu aktivitas, pergaulan dan pekerjaan Anda sehari-hari dan tak mengganggu lingkungan sekitar Anda, maka ketakutan Anda mungkin bukan sesuatu yang terlampau abnormal!

Sebaliknya perilaku yang “tampak” normal seperti:”senang main facebook (FB)” bisa jadi perilaku abnormal. Di pagi hari begitu bangun tidur, Anda langsung menghampiri PC yang dibiarkan menyala semalaman, update status, cek message, ikut kuiz dan gosok gigi. Di perjalanan ke kantor, di setiap persimpangan lampu merah atau ketika kendaraan Anda tersendat, Anda langsung meraih BB dan cek halaman FB, dalam hati Anda beralasan:”Kalau gak gitu jadi ngantuk sih!” Sampai di kantor anda menyapa teman-teman kantor Anda,…lewat FB! Sembari mengerjakan proposal, Anda meladeni berbagai message dan undangan YM. Di ruang rapat, karena ada Bos Anda jadi sungkan cek-cek FB lewat BB, tapi di sela-sela pembicaraan orang, pikiran Anda melayang memikirkan: “wah di FB statusnya Fanny berubah dari in relationship jadi single…apa dia putus yah?” waktu berlalu dan FB setia menemani Anda, saat kerja, saat rileks, saat bersama pacar, saat kongkow dengan teman…tanpanya Anda resah dan jadi gelisah…well, welcome to the club!!

Kita Semua GILA

Saat pertama saya memilih menjadi seorang psikolog klinis, jujur saya hanya butuh title PSIKOLOG di belakang nama saya. Tau kan….biar sah menandatangani laporan, biar dapat ijin buka praktek pribadi dan juga biar tak terlihat terlalu menganggur selagi karir saya sebagai seorang aktris sedang jalan di tempat! Blak-blakan aja…karir seorang psikolog klinis di Indonesia tak terlalu menjanjikan: hanya ada sekitar 0,1-@% dari populasi yang berada di wilayah abnormal, tambahan lagi calon-calon klien digentarkan oleh stigma:”ke psikolog?emang gue gila?” Apalagi saya masih harus bersaing dengan para mbah dukun, paranormal, ustadz, kyai, pendeta dll…jadi, apa iyah saya perlu punya spesialisasi bidang klinis?

TAPI, saya baru sadar saya tidak teliti mempelajari angka dan statistic abnormalitas. Menurut DSM_IV (buku manual penyakit gila bagi para ilmuwan!), persentase dari penyakit skizofrenia berjumlah 0.5-1,5% dari populasi, gangguan depresi sekitar 5-10%, gangguan panic sekitar 3,5%, PTSD (PostTraumatic Stress Disorder) sekitar 8%, gangguan kecemasan sekitar 3%, gangguan kepribadian sekitar 1-3%, gangguan Obsessive-Compulsive sekitar 2,5%, Somatisasi sekitar 2%...daftarnya terus berlanjut….belum lagi gangguan-gangguan yang biasanya didiagnosa pada masa perkembangan, gangguan berkaitan dengan penyalahgunaan zat, gangguan tidur, penyimpangan seksual, gangguan penyesuaian diri dan gangguan seks dan identitas gender!

Haaahhh….agak terengah-engah rasanya menyebutkannya, itu belum semua loh! Saya tak pandai berhitung, tapi kalau Anda mau menjumlahkan persentasenya...statistik menunjukkan bahwa KITA SEMUA GILA!

Lantas mengapa kita begitu alergi membicarakan kegilaan, penyakit jiwa, kemiringan atau kesedhengan kita? Apa yang membuat Anda dan saya tak bisa bebas membicarakan topik ini dalam pembicaraan sehari-hari kita di warung kopi, saat menjemput anak atau reunian? Ketika seorang tetangga bertanya:”Hai, gimana kabarnya?”, dapatkah kita menjawab dengan ringan bahwa kita baru saja mengalami episode depresi seperti mengatakan bahwa kita baru saja migren?

Mengapa media begitu gencar mencecar Mariah Carey atau Britney Spears yang mengalami mental breakdown (penurunan fungsi mental), menempatkan berita ini sebagai tajuk utama dan membicarakannya dengan “bitchy mode”? Sementara itu Kyle Minoque yang menderita kanker justru memperoleh simpati besar, ketika ia pulih, kita bilang ia seorang survivor dan mengagumi keberaniannya berjuang melawan penyakitnya. Tapi ketika Mariah kembali membangun karir setelah mental breakdown, kita justru memandangnya sebagai mantan orgil yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bukankah keduanya sama-sama menderita penyakit…mengapa kita begitu memandang beda penderita penyakit fisik dengan penyakit jiwa?

Setelah bertemu dengan kasus-kasus patologis alias abnormal, ternyata saya cukup paham perasaan dan pikiran mereka, mereka tak datang dari dunia atau planet yang berbeda. Mereka sama seperti kita hanya saja dengan kadar yang berbeda…Lagipula siapa dari kita yang tak pernah merasa depresi (kehilangan minat mengerjakan apapun) ketika menghadapi tantangan hidup yang tak pernah surut? Siapa yang tak pernah merasakan episode mania (terlalu bersemangat sampai tak bisa tidur) selagi kita menunggu hari bahagia atau momen menentukan lainnya? Siapa dari kita yang tak pernah memiliki delusi bahwa semua orang memandang dan membicarakan diri kita ketika ada jerawat merah merona dan matang di ujung hidung kita? Siapa yang tak pernah punya obsesi terhadap mantan pacar yang sekarang bertunangan dengan supermodel? Mungkin kita tak se “sehat mental” seperti yang kita kira. Jadi mari bicarakan dengan terbuka: penyimpangan Anda, ketidakwarasan saya, abnormalitas Anda, gangguan saya, neurosis Anda, psikosis saya…penyakit gila kita!

Rabu, 22 April 2009

We're All Crazy

When I first choose to be a clinical psychologist I have to be honest that I JUST NEED THE TITLE! You know…to sign some psychological reports, to open my private practice, to be admitted by the HIMPSI as one of them and not to looked unemployed while my carrier as an actress is being held! To say it blatantly, career as a clinical psychologist is not very promising in this country (esp. from my calculation as “enci-enci”): 1.there are only around 0.1-2% of the population in abnormal section plus potential clients are clouded with taboo and sensitive with labeling . Not to mention the competition I have to face with psychic, pastor, mbah dukun, paranormal, ustadz, kyai dkk on daily practice. So why do I even bother to specialized in it??!?

BUT, I just realized that I wasn’t vigilant enough in learning the statistics: according to DSM-IV (freaklist manual for the scientist!) the prevalence rates of schizophrenia are 0.5-1.5%, major depressive disorder are 5-10%, panic disorder are 3.5%, posttraumatic stress disorder are 8%, generalized anxiety disorder are 3%, paranoid personality disorders are 0.5-2.5%, antisocial personality disorders are 1-3%, obsessive-compulsive disorders are 2,5%, somatization disorders are 0.2-2%, pathological gambling are 0.4-3.4% . They are just few of many more not to mention disorders usually first diagnosed in infancy- adolescence, substance-induced disorders, sleep disorders, paraphilias, adjustment disorders and sexual and gender identity disorders. I’m not good with numbers, but if you do the math….am I crazy or the statistics show that WE’RE ALL CRAZY!

So why should we be so allergic to talk about insanity, madness, mental illness, lunacy or psychosis (aka sedheng)??What makes you and I allergic to bring the topic up in our daily chat at the coffee house, while picking up the kids or reunions? When a neighbor ask us “How are you doing?”…can we answer lightly that we just had a depressive episode just like we had a migraine? Why do the media put Mariah Carey or Britney Spears’ mental breakdown on big headline and we all rumored about it with bitchy tone while we talk about Kyle Minoque’ s cancer with sympathy? When Kyle was healed, we call her survivor and gave her medal for her courage in fighting cancer but when Mariah got back to business after a mental breakdown we treat her as ex-lunatic who will blow again anytime!

After meeting so-called “pathological” cases myself, I can relate to most of their feelings and thoughts. After all whom of us never had depression (lost interest to do anything) in dealing with life challenges, never had a mania episode (overexcitement till you can’t sleep) while waiting for defining moments such as wedding. Whom of us never had delusions that everyone is staring and talking about us when we got ret-hot pimple on the tip of our nose? Who never had an obsession over ex-lover who now engaged with a supermodel? Maybe we’re not that mentally-tuned as we thought we were. So let’s just bring it out in open…your madness, my insanity, your disorders, my lunacy, your neurosis and my psychosis. Let’s just deal with the everlasting questions….Am I Crazy or…..What?