Senin, 17 Januari 2011

Wajah Lain Kekerasan (Dalam Rumah Tangga)

Sebut saja namanya Ayu, cantik, keren, mandiri, punya karir yang lumayan sebagai seorang desainer dan dikenal di kalangan sosialita ibukotota. Ayu telah menikah dengan suaminya Fajar selama 22 tahun dan dikarunia seorang anak laki-laki yang kini berusia 21 tahun. Sejak 10 tahun lalu, tepatnya sejak Fajar di-PHK dan tidak bekerja, komunikasi dan keadaan rumah tangga mereka memburuk. Sudah 8 bulan belakangan Fajar dan Ayu pisah ranjang dan minim komunikasi. Terakhir kali mereka bertengkar hebat karena Fajar menuduh Ayu berselingkuh. Pertengkaran tersebut berakhir emosional dan Ayu mengaku tidak tahan lagi dan ingin mengakhiri saja pernikahannya.

Penghasilan keluarga mereka sebetulnya cukup lumayan. Walaupun tak lagi aktif bekerja Fajar masih memiliki pasive income dari investasi yang ditanamnya pada suatu usaha catering. Hanya saja setelah tidak bekerja, sikap Fajar berubah menjadi lebih mengungkung dan membatasinya, ia tidak senang ketika Ayu berpergian dan berkumpul dengan teman-temannya.

Tak hanya kepada teman pria Ayu, Fajar juga seringkali j cemburu pada teman-teman wanita dan tetangga yang sering diajak Ayu ngobrol. Ia cemburu karena Ayu menghabiskan banyak waktu bersama mereka dan menuduh mereka mempengaruhi Ayu untuk melawan N dan menyebarkan aib rumah tangga.

Fajar memang tak pernah memukul atau menghajar Ayu secara fisik, ia juga tak pernah berselingkuh namun Ayu merasa sudah tidak tahan dengan tekanan-tekanan suaminya. Perkataan-perkataan Fajar seringkali menyakiti hati dan merendahkan Ayu. Selain sering melontarkan makian verbal, Fajar juga pernah beberapa kali mengunci rumah dari dalam sehingga sepulang dari bepergian dengan teman-temannya, Ayu tidak bisa masuk ke dalam rumah.

Dapat dikatakan Ayu mengalami penganiayaan verbal dan psikologis dari suaminya. Komunikasi Fajar terhadapnya seringkali diwarnai oleh makian dan hinaan. Selain itu Fajar berusaha untuk mengendalikan dan menguasai kehidupan Ayu dengan membatasi pergaulannya dengan tetangga dan sahabat.

Ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan Ayu sebagai wanita yang terpelajar dan mandiri secara finansial memilih bertahan dalam pernikahan yang diwarnai oleh penganiayaan verbal dan psikologis selama 10 tahun. Salah satunya adalah: penganiayaan verbal dan psikologis tidak seperti penganiayaan fisik yang lebih mudah dikenali dan terlihat jelas dampaknya. Penganiayaan yang dialami oleh Ayu melibatkan perubahan kondisi yang terjadi secara bertahap hingga mungkin saja Ayu beradaptasi secara bertahap dan tidak menyadarinya. Kungkungan, penghinaan serta rasa bersalah yang ditimpakan pada Ayu perlahan tapi pasti membuat kepercayaan dan harga dirinya menurun.

Ayu memperlihatkan keyakinan tipikal korban seperti keyakinan kalau ia lebih dapat mengutarakan dirinya dan maksudnya, Fajar tidak akan marah terhadap pertanyaan dan pikirannya. Ayu merasa bahwa apabila ia menuruti keinginan Fajar, Fajar tidak akan berperilaku kasar. Ayu merasa bahwa ia tidak cukup memahami Fajar seperti wanita lain memahami suaminya. Ayu merasa bahwa ia berkontribusi terhadap hal-hal yang membuat Fajar menjadi kasar dan merasa apabila ia berbuat hal-hal yang benar... suaminya akan berubah.

Keberhasilan Ayu dalam berkarier dianggap Fajar sebagai sebuah kompetisi yang menyaingi kegagalannya dalam berkarya. N menutup akses komunikasi dengan menarik diri dan tidak ingin mendiskusikan masalah pernikahan. Menurut pada ahli pengangguran (unemployment) merusak citra diri seseorang, terutama bagi pria. Freud bahkan menggambarkan pekerjaan sebagai ikatan terkuat laki-laki terhadap realitas. laki-laki yang menganggur biasanya menderita rasa percaya diri yang rendah dan melaporkan perasaan tidak berharga, tidak bermakna dan perasaan seperti beban yang berlebihan. Pengangguran bahkan juga merusak kesehatan seseorag dan berkontribusi fatal terhadap sikap yang meningkatkan tingkat penyakit fisik, depresi dan penderitaan lain. Lebih dari itu pengangguran juga berdampak pada keluarga. Pengangguran meningkatkan kekerasan dalam keluarga dan memiliki dampak merusak dalam hubungan pernikahan

Ketika ditanya apa yang membuatnya bertahan dalam pernikahan selama ini, Ayu mengatakan bahwa ia masih mencintai suaminya. Perasaan cinta cenderung membuat individu mengidealisasi pasangan, serta mengembangkan harapan-harapan yang sesungguhnya mungkin palsu. Korban kekerasan biasanya terus berhadap bahwa pasangan akan berubah, akan menjadi lebih baik dan sebagainya. Korban juga cenderung mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan pasangan.

Hubungan personal yang diwarnai kekerasan lebih sulit dihadapi karena korban menghayati berbagai konflik dan dilema yang dapat membuatnya merasa sangat tertekan. Korban biasanya merasa bingung mengapa orang terdekat yang harusnya menyayanginya justru bersikap buruk padanya atau korban mungkin sudah terlanjur mengembangkan ketergantungan emosi pada pelaku sehingga mengembangkan berbagai rasionalisasi terhadap perilaku penganiaya.

Penganiayaan verbal merusak jiwa dan merampas sukacita dan vitalitas dari kehidupan seseorang. Penganiayaan semacam ini mendistorsi realitas karena penganiaya tidak berespon sesuai dengan komunikasi pasangan dan membuat pasangannya berusaha untuk selalu mengekspresikan dirinya secara adekuat supaya dimengerti. Akhirnya korban ”hidup dalam angan-angan” dan senantiasa berpegang pada waktu-waktu dimana segala sesuatunya tampak normal dan menyenangkan.


Kisah Fina: Asa Seorang Penderita Asperger

Hasil tes menunjukkan bahwa ia individu yang cerdas...tapi kenapa ia begitu mudah diperdaya oleh orang? Katanya ia begitu trauma dengan pemerkosaan dan penyekapan yang dialaminya...dan SEWAJARNYA ia merasa begitu...tapi saat kutemu di rumahnya, ia sedang jongkok di depan TV, tertawa dan terkekeh-kekeh menonton film kartun! Mungkin ini bukan kasus pemerkosaan...mungkin Fina melakukannya atas dasar suka sama suka, mengaku disekap padahal dengan rela hati menginap selama 3 bulan dengan ”kekasih” yang kini dituduhkan melakukan penyekapan oleh orangtuanya. Ya....pasti begitu!Tapii....mata dan ekspresinya saat bertemu tersangka sulit dimanipulasi, ia begitu ketakutan...wajah yang tadinya planga-plongo itu mendadak didera horor.

Fiiuuhh....aku menghela nafas panjang, menutup mata lelahku sejenak dari tumpukan kertas dan buku yang berserakan di mejaku. Sudah hampir satu minggu aku dibuat bingung oleh kasus ini, fakta-fakta yang berbenturan, informasi yang tak lengkap... sampai hasil observasi dengan mata kepalaku sendiri belum mampu memberiku keyakinan mengembangkan hipotesa akan apa yang terjadi.

Klienku Fina seorang gadis remaja berusia 19 tahun, baru mengenal Jo lewat SMS tak dikenal yang diterima HP-nya. Setelah beberapa kali berkomunikasi melalui SMS, Jo mengajaknya copy darat. Fina menanggapi ajakan Jo dan mereka bertemu di stasiun kereta pada sore hari. Fina tak curiga saat Jo mengajaknya berjalan-jalan ke daerah yang lebih sepi, mereka berbincang sampai pukul 8 malam. Fina juga tak curiga ketika Jo meminta ijin untuk pergi ke toilet, ia setia menunggu, tak bergerak kemanapun hingga Jo kembali 1 jam kemudian dengan membawa 2 orang pria dewasa lain. Apa yang terjadi selanjutnya selalu membuatku miris membayangkannya....Fina diperkosa bergantian oleh Jo dan 2 pria lain. Tak sampai disitu saja, mata Fina kemudian ditutup dan tangannya diikat, ia dimasukkan ke mobil dan dibawa pergi. Ketika matanya dibuka, ia telah berada di sebuah rumah kosong dan disekap selama kurang lebih 3 bulan. Selama itu pula Fina kerap diperkosa dan dianiaya oleh ketiga pria tersebut.

Singkat cerita, Fina kemudian ”dipulangkan” oleh para penganiayanya. Di pagi hari sekitar pukul 10.00, pembantu Fina yang hendak membersihkan kamarnya menemukannya sedang bersembunyi di bawah tempat tidur dalam keadaan ketakutan, tubuh dan pakaiannya kotor, rambutnya tampak lengket dan acak-acakkan seperti lama tidak dicuci. Setelah pulang ke rumah, Fina terlihat sering bengong, ia takut tidur sendiri di kamarnya dan harus tidur dengan orangtuanya.Selain itu Fina yang sebelumnya gandrung akan HP, juga takut mengangkat telepon dan pergi keluar rumah. Di malam hari ia sering mengalami mimpi buruk dikejar-kejar monster atau orang jahat yang ingin membunuhnya.

Ayah Fina mengatakan bahwa Fina memiliki kekurangan sedari kecil, ia baru bisa berjalan dan berbicara pada usia 3 tahun, namun setelah itu ia berkembang seperti anak-anak sebayanya. Fina tidak pernah tinggal kelas, walaupun ia jarang belajar, ia dapat mengikuti pelajaran dengan cukup baik namun ia kurang bisa bergaul dengan teman-teman sebayanya dan hanya bisa bergaul dengan anak-anak balita. Selain itu perilakunya tampak seperti anak-anak, ia mudah terbawa rayuan orang dan tidak bisa menyaring perkataan orang. Hal ini membuat orangtuanya bersikap protektif dan menyekolahkan Fina di Pesantren.

Ada yang janggal dengan dirinya, ia tak seperti gadis remaja kebanyakan, cara bicaranya seperti anak kecil dan gerak-gerik wajah dan tubuhnya kikuk dan kaku. Tatapan matanya ”aneh” dan ia seringkali tidak bisa memberikan ekspresi emosi yang tepat. Selama berbincang ia jarang melakukan kontak mata dan sibuk bermain dengan kuku-kuku jari tangannya. Eits....sering memainkan kuku-kuku jari tangan...cenderung terpaku dan asyik pada dunianya...jangan-jangan ada kecenderungan autistik pada Fina. Ia masih mampu membangun hubungan dan berkomunikasi dengan dunia luar tapi sangat terbatas...dalam berkomunikasi ia ia hanya menangkap yang harafiah. Ekspresi, intonasi dan gestur yang mewarnai percakapan tak mampu diartikannya...

Pencarianku pada kejanggalan Fina berujung pada penemuan akan gangguan yang baru pertama kali kudengar: Asperger Syndrome....sebuah gangguan yang termasuk spektrum autisme. Individu dengan sindrom ini memiliki gangguan dalam penggunaan perilaku non-verbal ganda (kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur) dalam interaksi sosial dan komunikasi. Mereka kurang mampu mengembangkan hubungan dengan teman sebaya. Hal ini mungkin tidak tampil dalam bentuk apatisme sosial. Individu dengan asperger biasanya ingin menjalin hubungan namun tidak memiliki keterampilan sosial yang diperlukan. Pendekatan yang eksentrik dan kelakukan yang canggung membuat mereka sulit diterima oleh lingkungan.

Seperti juga dalam gangguan autistik, pola berulang dari perilaku, minat dan aktivitas juga hadir. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan berkembangnya keterpakuan terhadap sebuah minat yang spesifik dimana individu memiliki fakta dan informasi yang lengkap mengenai topik ini. Aktivitas lain mungkin terganggu karena mereka begitu menggandrungi aktivitas yang berhubungan dengan minat tersebut. Fina memiliki minat yang besar terhadap HP. Ia mengenal jenis-jenis berbagai-bagai HP beserta keunggulan dan fitur-fiturnya. Pembicaraan mengenai HP juga menjadi topik yang membuatnya bersemangat dan dapat bertutur panjang tanpa melihat konteks pembicaraan. Ia juga mampu belajar hal baru seperti membuat koneksi telepon melalui internet dan komputer yang tidak mampu dilakukan oleh kakak, adik dan orangtuanya. Tidak hanya itu, preokupasi terhadap HP juga membuatnya ”melanggar” larangan-larangan dari orangtuanya untuk tidak menggunakan HP dan telepon. Studi tentang individu dengan sindrom asperger mengungkapkan bahwa kriminalitas yang dilakukan oleh mereka biasanya menyangkut preokupasi mereka terhadap area spesifik dan dilakukan sekedar untuk memenuhi preokupasi mereka.

Sebagai seorang individu dengan Sindrom Asperger, Fina mudah menjadi korban kejahatan karena ia tidak mampu membaca tanda-tanda non-verbal dan sosial dari orang-orang yang bermaksud jahat padanya. Ketika Jo minta ijin ke WC dan menyuruhnya menunggu, Fina dengan patuh menunggu walau Jo baru kembali 1 jam kemudian. Ia sama sekali tidak curiga atau merasa ada kejanggalan dengan kepergian Jo ke ”WC” selama 1 jam.

Usia Fina yang berada pada masa remaja juga menambah kerentanan kepadanya Remaja-remaja belasan tahun dengan Sindrom Asperger memiliki kematangan sosial ataupun emosional yang lebih lambat bila dibandingkan dengan anak-anak lain dikelasnya. Ketika hubungan-hubungan asmara terjadi, penting bagi remaja untuk mempelajari cara ”membaca” tanda-tanda orang lain. Aspek lainnya adalah ia mungkin tidak menyadari isyarat bila tujuan seseorang tidak untuk jatuh hati dan beramah-tamah. Individu dengan Sindrom Asperger sangat mudah menjadi korban serangan seksual. Hal ini pula yang menimpa Fina Sebagai remaja putri, ia ingin diterima oleh teman-temannya namun keterbatasan kemampuan membuatnya menjadi seorang remaja yang terkucil. Tekanan untuk memperoleh teman atau pacar membuatnya membuka diri terhadap tawaran-tawaran perkenalan dari orang asing. Ketidakmampuan untuk membaca tanda-tanda sosial membuat Fina tidak menyadari bahwa Jo ingin memanfaatkannya dan hal ini yang membuat individu dengan Asperger rentan mengalami penganiayaan seksual.


Rabu, 09 Juni 2010

6 Menit yang Mempersatukan

Sungguh luar biasa dampak video mesum mirip artis yang beredar sejak seminggu lalu. Tak hanya mengundang diskusi dan pergunjingan diantara sahabat dan kerabat di ruang-ruang publik, baik maya maupun nyata, ia pun mampu mempersatukan berbagai lapisan masyarakat. Epidemik video-video tersebut melesat cepat , menyelinap ke PC-PC perkantoran membetot fokus jajaran staf sampai direksi pada satu titik. Ia mewabah dan terus menular dalam genggaman buruh dan manajemen yang biasanya sulit berjabat tangan. Panasnya mencairkan kebekuan dan menjadi perbincangan hangat diantara para penumpang busway yang tak saling mengenal. Hanya dalam durasi kurang dari 10 menit, ia mampu mengalihkan mata dan perhatian sebuah bangsa.

Sayangnya ia tak dapat dibendung dan disaring dari mata atau yang lebih parah: dari pikiran para pelajar dan anak dibawah umur. Dalam sebuah liputan, seorang ibu yang mewakili warga umum mengungkapkan harapannya agar video-video tersebut dicekal dan dihentikan peredarannya, ia takut anaknya menonton adegan-adegan tak senonoh tersebut. Alangkah sulit (kalau tak ingin dibilang mustahil) mewujudkan pencekalan tersebut. Harapan sang ibu berhadapan dengan kecanggihan teknologi, ketangkasan para penjual CD bajakan dan warung internet yang tak bertanggungjawab dan yang terpenting melawan rasa ingin tahu dari para aak dan remaja.

Ada secercah harapan dalam diri saya agar momen seperti ini dapat mempersatukan pemerintah, pakar/praktisi pendidikan dan orangtua untuk mendukung pendidikan seks. Agar pendidikan seks mendapat tempat yang lebih leluasa dari sekedar pengetahuan anatomi yang diselipkan dalam pelajaran biologi. Selama ini pendidikan seks diberikan dengan begitu terbatas karena kekhawatiran dapat memicu keingintahuan dan perilaku seks diantara murid. Padahal penelitian membuktikan bahwa pendidikan seks yang sistimatis, terarah dan dipenuhi oleh nilai mampu menjadi bekal anak dalam memilih perilaku seks yang lebih bertanggungjawab.

Orangtua tak bisa hanya mengandalkan pencekalan oleh pihak berwajib atau hanya mengharapkan razia HP/laptop oleh guru dan sekolah. Razia seketat apapun rasanya sulit mengendalikan peredaran vide-video seks ini. Orangtua juga tak bisa menggunakan amarah, omelan atau hukuman ketika mendapati anaknya telah melihat atau memiliki video seks tersebut. Satu-satunya cara untuk mencegah dampak buruk dari fenomena ini adalah memberikan pengertian pada anak. Gunakan isu ini untuk membangun percakapan mengenai seks dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan.

Para ayah dapat mengatakan kepada anak laki-lakinya bahwa kejantanan tidak dibuktikan dengan berapa banyak perempuan yang dapat ditiduri tapi dengan bagaimana seorang laki-laki memperlakukan wanita dengan respek. Para ibu dapat memberikan pemahaman bahwa hubungan intim dengan pacar (apalagi dengan istri orang) bukan tanda cinta melainkan nafsu, karena cinta rela menunggu sampai hubungan disahkan dalam pernikahan. Memang butuh waktu yang lebih panjang untuk melawan 6 menit tontonan tak senonoh yang pastinya menimbulkan berbagai sensasi dan pertanyaan. Orangtua juga perlu belajar membangun hubungan yang dekat dengan anak agar anak mau mendengar dan menyerap nilai-nilai yang diimpartasi.

Sabtu, 07 November 2009

THIS CRAZY THING CALLED: FAITH

As a residual control freak, I find it not easy being pregnant….first when I knew I’m having a baby I kinda wish I could repeat the process (of making a baby) all over again and make sure that everything went perfectly: me and hubby in good health, not eating any MSG stuff or coffee and doing it in sterile environment!

But there’s nothing I can do to undo what has happened right…so I just wish and pray that this baby turn well eventually. This is one of the downside of learning psychology especially clinical psychology….you get exposed by all kinds of pathologies! What if my baby developing any kind of deviance or abnormalities like autism or down syndrome?!?! Oh no….please God no…the more I try not to think about it the more I think about it!!!

My madness didn’t stop there….the first 3 months a mother barely can see or feel the baby inside her womb…is she really there? Sometimes even a modern USG check up can’t detect the baby during the first 2 months. I got all the nauseas and the fatigues but still doubt whether I was really carrying a baby or not…you know: seeing is believing right!!!

After the doctor and USG confirmed my pregnancy, a new anxiety starts: how do I know if the baby is alright and growing well? I don’t know whether my hormone changes coz a temporary madness (or dullness) in me but I even thought:”What if I accidentally “push” the baby out while I do my regular pup?” Wow my master degree seemed to be a joke at that time!

My concern and anxieties slowly disappeared when the my tummy grow larger and larger….and then the miracle happened for the first time: I felt the baby moving and kicking inside of me! Wow what an amazing feeling….there’s a new person, a full human being growing inside me! This little person can even interact with me and hubby, she responds when we sing a tune, pray, talk or “kick” her back!

It’s only around 6 months I get to be a mother but I realized that having a child in a world like this really takes this crazy thing called FAITH. You desperately need faith to go through pregnancy….yet alone to raise a child! I still worry day to day if the baby’s healthy and well and I don’t know for sure what she’ll turned out to be but I learn from this great journey that there’s nothing I can do about it except pray and surrender the rest. I still learn to let go my control and anxieties since it does nothing but takes my joy away….I wish that someday I have enough faith to believe that in all things God works for the good of those who love Him!

Senin, 24 Agustus 2009

Desire: Wanting what you can’t have!

Baru 5 hari berlalu aku berkeluh kesah pada suamiku, perut kembung, muka jerawatan, pencernaan terganggu, aku positif lagi PMS (pre-menstrual syndrome). PMS-nya sih biasa, tapi yang membuatku mengeluh adalah karena ekspektasiku untuk gak mengalaminya kembali. Dengan pencanangan Program bikin anak sejak 3 bulan lalu, harapanku untuk “ positif” selalu kandas setiap kali aku masih kedatangan tamu bulanan.
Lima hari berlalu dan semua tanda PMS tak kunjung reda, aku dibingungkan karena sang tamu tak kunjung datang…keinginan untuk tes kutunda karena takut kecewa…kecewa kalo baru dites eh taunya besok baru datang! Tujuh hari berlalu, kuberanikan diri untuk tes, sekaligus siap2 kecewa kalau hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Sambil sikat gigi kucoba bersikap se-kasual mungkin..tak sampai 5 detik hasil tes bilang aku POSITIF. Kupikir aku akan meloncat bahagia, berlari menghampiri suamiku dan kami berpelukan sambil muter-muter seperti yang sering kulihat di film-film. ..Ternyata aku tak berkutik dihadapan stick kecil tersebut. “Nah lo loh….positif yah? Gimana donk?” tanyaku bloon pada suamiku, bolak balik kami membaca kartu petunjuk pemakaian dan mengamati test pec seraya tak percaya!

Setelah setengah jam nyengar-nyengir bodoh diiringi tawa gugup, aku mulai membayangkan segala hal yang akan berubah dan mungkin tak akan pernah sama lagi. Badanku pasti membengkak dan mungkin tak pernah lagi kembali ke angka yang sama seperti saat ini. Pekerjaan yang telah memberiku rasa mandiri mungkin tak lama lagi bisa kujalani, sampai kapan aku bisa menyupir Jakarta-Tangerang dengan perut yang semakin membuncit? Kopi dan sushi yang kugemari sekarang jadi off limit bagiku. Itu baru selama proses kehamilan….apalagi nanti kalau sikecil sudah hadir dalam keluarga kami, pasti lebih banyak perubahan yang dibawanya: tidur nyenyak dan leyeh-leyeh di akhir pekan mungkin tak akan lagi bisa kami nikmati….wuuaahhh…aku menarik nafas panjang, dadaku terasa sesak penuh ketakutan!

Apa yang tadinya sangat kudamba, kini membuatku takut setengah mati. Sungguh lucu, betapa kita, maksudnya anda dan saya yang mengaku manusia, kita cenderung menginginkan hal-hal yang tidak kita miliki TAPI begitu kita mendapatkannya, kita sekejab jadi ragu apa betul kita mengingininya! Kata orang cinta paling romantic adalah cinta tak kesampaian atau cinta terlarang. Tak dapat bersatu dengan orang yang kita cintai macam cinta Romeo & Juliet rasanya lebih dramatis dan romantis daripada cinta sepasang suami istri yang saling memiliki sepanjang usia.

Pernah kubaca dalam sebuah artikel di O Magazine, seorang professor menyuruh mahasiswanya meneliti dan mengkaji desire secara ilmiah. Ternyata pengalaman dan studi menunjukkan bahwa sifat desire adalah menginginan apa yang tidak kita miliki. Desire cenderung menurun atau menghilang ketika kita telah berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan tersebut. Anda pun pasti pernah mengalaminya, waktu kecil aku iri setengah mati pada sepeda roda 4 milik tetanggaku, warna bannya merah muda khas anak perempuan dengan bel yang berbunyi nyaring. Papa Mama ku saat itu menjanjikannya sebagai hadiah apabila aku naik kelas dengan nilai memuaskan. Aku berusaha setengah mati belajar biar dapat nilai bagus dengan iming-iming sepeda merah muda di benakku. Ketika akhirnya aku mendapatkan sepeda tersebut, hanya 3 minggu aku tenggelam dalam euphoria dan memainkannya dengan sukacita. Tak sampai habis liburan tahun ajaran, sepeda itu sudah mulai sering menganggur dan teronggok saja di pojok garasi. Aku sendiri mulai beralih ingin buku stiker seperti milik seorang teman jemputan.

Gila memang, kalau secara ilmiah saja sifat manusia memang sudah begitu, apa bisa kita salahkan orang yang ingin beristri 2 atau 3? Lah wong manusia tak ada puasnya…mungkin jawabannya bukan pada memiliki apa yang kita inginkan tetapi menginginkan apa yang kita miliki. Jadi kini aku bersyukur dan menikmati saja kehamilanku, kegugupanku, ketakutanku, ketergantunganku pada suami yang makin meningkat dan semuanya….lagipula kalau dipikir-pikir kapan lagi aku bisa leluasa minta dimanja dan dilayani :>

Senin, 15 Juni 2009

Penyakit Gila Karena Cinta

Pernahkah Anda mencintai seseorang sampai mau mati rasanya?Dada berdebar-debar tak terkendali. kalau sudah tidur susah bangun, kalau sudah bangun susah tidur, mau apa-apa rasanya tak bergairah?
Cinta memang sering bikin orang mabuk kepayang bahkan menggila…sering kudengar cerita cinta yang bikin orang hilang akal: menempuh perjalanan bolak-balik Jakarta-Bandung hanya untuk bilang "aku kangen kamu!", 103 sms dan 4,5 jam percakapan dengan inti yang sama:"aku kangen kamu!" tak mengurangi rindu sedikit juga! Aku hanya bisa berkomentar sambil geleng-geleng kepala:"Gila loe!" Seorang teman lain bercerita dengan bangga bahwa ia rela berlatih gitar dari nol sampai jari-jarinya melepuh demi gape membawakan lagu "Sempurna" hanya dalam waktu 1 minggu. Demi apa?hanya demi mengesankan seorang gadis di acara pensi sekolah! Sekali lagi aku hanya bisa berkomentar sambil geleng-geleng:"benar-benar sinting loe!"

Namun reaksi dan komentarku sungguh berbeda ketika mendengar cerita cinta klienku, sebut saja namanya Roy! Cinta benar-benar membuatnya gila! Ria, pacar pertama Roy diusianya yang ke 26 membuatnya tak menentu, gelisah, tak bisa tidur, tak bergairah beraktivitas bahkan hanya untuk bangun dari ranjang dan mandi. Kegilaan yang wajar apabila hanya sampai disitu, yang bikin miris Roy merasa tertekan dan depresi setiap berpacaran dengan Ria, berat badannya menurun, sering ia merasa begitu gelisah dan tidak bisa duduk diam, ia hanya berjalan mondar-mandir tak bertujuan dan ia terus merasa dorongan untuk memutuskan hubungan. Seringkali ia tidak dapat menahan dorongan ini dan akhirnya memutuskan hubungan dengan Ria. Setelah kata putus terucap, ketegangannya merada, ia bisa beraktivitas dengan normal, perasaannya tenang dan lega. Namun tak sampai seminggu, kerinduan timbul di hati Roy, akunya ia sangat menyayangi Ria, ia tak tahan membayangkan Ria berpacaran bahkan menikah dengan pria lain. Akhirnya Roy menghubungi Ria dan mengajaknya kembali berhubungan dan ia pun kembali menderita depresi. Aneh…kalau sepasang kekasih biasanya merana karena cintanya tak dapat restu dari orangtua, Roy merana karena cintanya pada Ria seakan ditentang oleh sebagian dari diri Roy. Benci tapi rindu, sayang tapi tertekan! Akibatnya hubungan mereka tak jauh-jauh dari lagu BBB: "putus-sambung….putus-sambung….putus-sambung!"


Konsultasi dengan psikiater dan 2 orang psikolog Roy lakukan, terapi obat, psikoterapi sampai shock therapy (ECT) ia jalani ... Namun semua tetap tak banyak membantu, kelegaan penuh baru diperolehnya ketika ia tak lagi berstatus "pacar". Berada pada status "single" pun tak membuat Roy sepenuhnya tenang, ia tak habis mengutuki diri mengapa senantisasa diserang depresi ketika berpacaran, air matanya meleleh ketika diminta merelakan Ria. Statusnya benar-benar "it's complicated!"…rumit, serba salah, kompleks dan tak mudah diurai.

Selidik punya selidik gangguan Roy yang kompleks tak hanya didasari oleh rasa cintanya pada Ria. Sebelum bertemu Ria, Roy sudah punya masalah depresi ringan. Roy dibesarkan dengan pola asuh yang ambivalen dan conflicting, di satu sisi ia sangat dimanja, dilayani dan dipenuhi kebutuhan materialnya, namun di sisi lain, orangtuanya mengekang dan membatasi “ruang geraknya” dalam mengambil keputusan dan mandiri. Hal ini membuat Roy tumbuh dengan motif-motif yang berkonflik satu sama lain. Di satu sisi ia memiliki kebutuhan untuk bergantung namun juga keinginan utuk mandiri dan menentukan langkah sendiri. Kebergantungan yang disertai dengan keterkekangan kemudian menimbulkan kemarahan dan kebencian yang harus direpresi agar ia dapat bertahan hidup dan sehingga ia tampil sebagai anak yang penurut dan “tidak neko-neko”.

Pola ini berlanjut sampai Roy dewasa, karena orangtuanya senantiasa mengarahkan namun tidak pernah memberikan tanggung jawab yang jelas. Ia tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki keinginan sendiri, bergantung pada orangtua dan tidak dewasa dalam mengolah impuls-impulsnya. Ketika Mama Roy terkena depresi, ia kehilangan sosok yang memberikan struktur baginya, yang biasanya menentukan arahnya. Papa Roy yang mulai menuntutnya untuk berperan sebagai orang dewasa menimbulkan frustasi bagi Roy. Usahanya untuk menghibur Mama tidak berhasil, begitu pula usahanya untuk bertanggung jawab terhadap toko yang telah diserahkan padanya. Hal ini membuatnya terbeban dan tidak berguna. Hal ini menimbulkan kecemasan di dalam diri Roy dan menjadi awal perkembangan gangguan. Sedikit saja, ia terbeban oleh tanggung jawab atau tuntutan sosial, gejala depresi ringannya kambuh.

Hubungan dengan Ria menjadi pemicu timbulnya depresi berat yang dialaminya kini. Tuntutan ego untuk memenuhi peran sebagai pria dewasa yang berinisiatif, bertanggung jawab dan nurturing tidak dapat dipenuhi karena pada dasarnya ia adalah pribadi yang dependen dan tidak dewasa. Menurut teori psikoanalisa, depresi timbul karena adanya kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri (anger-in). Demikian pula dengan Roy, kemarahannya pada diri sendiri karna tak mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri akhirnya menimbulkan gangguan depresi.

Banyak faktor yang dapat berkontribusi menimbulkan depresi. Depresi sesungguhnya merupakan salah satu penyakit gila dengan prevalensi paling tinggi, sekitar 10-25% dari seluruh populasi dan dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Bahkan bintang terkenal seperti Kirsten Dunst pun pernah menderita depresi! Apabila Anda merasakan simptom-simptom ini: sering gelisah tak menentu, kehilangan gairah melakukan kegiatan/hobi yang disenangi, makan/tidur terganggu…segeralah berkonsultasi pada psikolog atau psikiater Anda!

Sabtu, 02 Mei 2009

Menikahi Seorang Psycho!

Saya merasa ditusuk dari belakang oleh istri saya sendiri…istri yang selama ini saya lindungi dan tutupi aibnya!” kata seorang suami kepadaku dengan mata berkaca-kaca dan suara yang tersendat. Setelah 3,5 tahun berada dalam pernikahan yang melelahkan dan membuat frustasi, ia merasa tak tahan lagi. Makian dan pukulan dapat dipikulnya, rasa malu dan cemas dapat ditoleransinya TAPI hati dan harapannya hancur saat sang istri melaporkannya ke polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan. “Waktu itu saya hanya ingin menenangkannya dan menahan pukulannya! Saya sama sekali tidak bermaksud memukulnya, Mbak tau kan berapa kuatnya dia kalau sedang tak sadar!” Sebagai seorang pria sejati , ia tak bisa mundur dari sumpah yang diambilnya ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang gadis yang tak ia kenal sebelumnya. Hanya oleh rujukan keluarga dan iman pada keyakinan agamanya, ia melangkah pada sebuah kisah horror berjudul:”Menikahi Seorang Psycho!”

Mata berkaca yang sama kulihat pada Alicia Nash yang dimainkan begitu indah oleh Jennifer Connely dalam film The Beautyful Mind. Istri dari seorang ahli matematika jenius yang menderita skizofrenia dan hampir membunuh anak mereka. Hati Alicia hancur saat ia tahu bahwa suami tersayangnya nampak tak bisa menemukan jalannya kembali ke dunia nyata. Tersesat dalam delusi dan halusinasinya, John Nash yakin bahwa ia memiliki seorang sahabat yang tak pernah ada dan sebuah kehidupan rahasia yang tak pernah nyata.
Alicia tak hanya harus berhadapan dengan dengan menurun bahkan hilangnya fungsi sosial sang suami: tak dapat mempertahankan pekerjaan ataupun relasi sosial yang bermakna, berhadapan dengan stress sehari-hari dari perilaku-perilaku aneh bahkan terkadang membahayakan dari sang suami dan yang paling menyakitkan, berhadapan dengan semua stigma dan rasa malu menikahi seorang sakit jiwa dan yang paling menyakitkan adalah berhadapan dengan harapan yang semakin menipis bahwa hidup akan kembali normal.

Entah mengapa, kekurangan atau penyimpangan psikologis dapat jauh lebih membebani bagi pasangan daripada sakit fisik. Pernahkah Anda menyadari bahwa ketika Anda mengikat janji dihadapan Tuhan dan berkata:”Saya akan menemanimu dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit…” maka kata SAKIT tersebut meliputi sakit fisik dan juga SAKIT JIWA???

Kembali pada kisah pertama perihal klien saya…tak lama, sang istri mulai mengeluh dan neracau bahwa suaminya mau kawin lagi. Tentu saja hal ini membuat simptom penyakitnya makin kambuh. Ketika saya mengkonfrontasi sang suami, ia tak menyangkal. Ia berkata dengan putus asa:” Saya gak tau lagi mesti gimana mbak…sehari-hari saya harus pergi kerja untuk cari biaya pengobatan dan perawatan istri, lalu siapa yang akan menjaga dia saat kita pulang dari rumah sakit nanti? Saya butuh orang yang setia dan cukup paham, pembantu atau suster tak mungkin tahan merawatnya, dari situ saya punya ide untuk mengambil istri kedua!"

Saat itu saya tak bisa berkata apa-apa…itu pertama kalinya dalam hidup saya, saya hampir setuju pada ide poligami!