Rabu, 09 Juni 2010

6 Menit yang Mempersatukan

Sungguh luar biasa dampak video mesum mirip artis yang beredar sejak seminggu lalu. Tak hanya mengundang diskusi dan pergunjingan diantara sahabat dan kerabat di ruang-ruang publik, baik maya maupun nyata, ia pun mampu mempersatukan berbagai lapisan masyarakat. Epidemik video-video tersebut melesat cepat , menyelinap ke PC-PC perkantoran membetot fokus jajaran staf sampai direksi pada satu titik. Ia mewabah dan terus menular dalam genggaman buruh dan manajemen yang biasanya sulit berjabat tangan. Panasnya mencairkan kebekuan dan menjadi perbincangan hangat diantara para penumpang busway yang tak saling mengenal. Hanya dalam durasi kurang dari 10 menit, ia mampu mengalihkan mata dan perhatian sebuah bangsa.

Sayangnya ia tak dapat dibendung dan disaring dari mata atau yang lebih parah: dari pikiran para pelajar dan anak dibawah umur. Dalam sebuah liputan, seorang ibu yang mewakili warga umum mengungkapkan harapannya agar video-video tersebut dicekal dan dihentikan peredarannya, ia takut anaknya menonton adegan-adegan tak senonoh tersebut. Alangkah sulit (kalau tak ingin dibilang mustahil) mewujudkan pencekalan tersebut. Harapan sang ibu berhadapan dengan kecanggihan teknologi, ketangkasan para penjual CD bajakan dan warung internet yang tak bertanggungjawab dan yang terpenting melawan rasa ingin tahu dari para aak dan remaja.

Ada secercah harapan dalam diri saya agar momen seperti ini dapat mempersatukan pemerintah, pakar/praktisi pendidikan dan orangtua untuk mendukung pendidikan seks. Agar pendidikan seks mendapat tempat yang lebih leluasa dari sekedar pengetahuan anatomi yang diselipkan dalam pelajaran biologi. Selama ini pendidikan seks diberikan dengan begitu terbatas karena kekhawatiran dapat memicu keingintahuan dan perilaku seks diantara murid. Padahal penelitian membuktikan bahwa pendidikan seks yang sistimatis, terarah dan dipenuhi oleh nilai mampu menjadi bekal anak dalam memilih perilaku seks yang lebih bertanggungjawab.

Orangtua tak bisa hanya mengandalkan pencekalan oleh pihak berwajib atau hanya mengharapkan razia HP/laptop oleh guru dan sekolah. Razia seketat apapun rasanya sulit mengendalikan peredaran vide-video seks ini. Orangtua juga tak bisa menggunakan amarah, omelan atau hukuman ketika mendapati anaknya telah melihat atau memiliki video seks tersebut. Satu-satunya cara untuk mencegah dampak buruk dari fenomena ini adalah memberikan pengertian pada anak. Gunakan isu ini untuk membangun percakapan mengenai seks dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan.

Para ayah dapat mengatakan kepada anak laki-lakinya bahwa kejantanan tidak dibuktikan dengan berapa banyak perempuan yang dapat ditiduri tapi dengan bagaimana seorang laki-laki memperlakukan wanita dengan respek. Para ibu dapat memberikan pemahaman bahwa hubungan intim dengan pacar (apalagi dengan istri orang) bukan tanda cinta melainkan nafsu, karena cinta rela menunggu sampai hubungan disahkan dalam pernikahan. Memang butuh waktu yang lebih panjang untuk melawan 6 menit tontonan tak senonoh yang pastinya menimbulkan berbagai sensasi dan pertanyaan. Orangtua juga perlu belajar membangun hubungan yang dekat dengan anak agar anak mau mendengar dan menyerap nilai-nilai yang diimpartasi.